ESAI: Bahasa Daerah dan Lokalitas dalam Karya Sastra sebagai Strategi Pemertahanan Bahasa

19 April 2024, 22:58 WIB
Ilustrasi - Strategi pemertahanan bahasa daerah /Kemendikbudristek /

Oleh: Dimas Sanjaya

Kondisi bahasa daerah di Indonesia saat ini terbagi menjadi 3, yaitu, masih aktif dituturkan, terancam punah, dan punah. Kepunahan bahasa bukan sekadar kepunahan kosakata bahasa daerah itu saja, melainkan hilangnya salah satu warisan budaya. Bahkan menurut UNESCO dikutip dari panduan Revitalisasi Bahasa Kemdikbud mengatakan “ketika suatu bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga—sejumlah besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah”.

Bahasa daerah mulai ditinggalkan penuturnya, karena eksistensinya sudah mulai luntur sehingga urgensi dan substansi bukan suatu yang urgen dalam pandangan masyarakat sekarang. Lingkungan heterogen yang menuntut penutur bahasa untuk menggunakan bahasa Indonesia, hal ini disepakati sesuai dengan kodratnya bahasa sebagai alat komunikasi—agar saling memahami. Bahasa daerah semakin kehilangan jati diri serta otoritasnya dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh bahasa asing yang secara masif berkembang berkat IPTEK dan digitalisasi memberikan pengaruh terhadap pengguna bahasa. Bahasa daerah kehilangan prestise, sehingga perlahan-lahan mulai ditinggalkan bahkan dianggap kuno.

Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, beberapa bahasa daerah yang punah di Indonesia, diantaranya, bahasa Kajeli, Piru, Moksela, Palumata, Ternateno, Hukumina, Hoti, Serua, Nila, Tandia, dan Mawes. Bahasa tersebut berasal dari Maluku dan Papua sekitarnya. Bahasa tersebut punah karena penuturnya yang sudah meninggal dan tidak terwarisi ke generasinya.

Untuk melangkah sejauh mana dan mau dibawa ke mana bahasa daerah tersebut. Konsep pemertahanan bahasa daerah seharusnya sudah menjadi masalah yang sudah didudukan. Konservasi dan revitalisasi sering menjadi perdebatan antara praktis dan sistematis. Hingga saat ini terjadi dilematis mengenai pemertahanan bahasa tersebut, mulai dari apa yang harus dilakukan? hingga sampai kapan pemertahanan bahasa tersebut?. Jika konsep pemertahanan tersebut adalah inventarisasi. Lalu, setelah itu hasilnya akan menjadi catatan akademik yang kaku, sehingga produk tersebut tak banyak diakses oleh masyarakat. Salah satu usaha yang dapat dilakukan dalam pemertahanan bahasa daerah adalah dengan membawa ke ranah sastra. Sastra sudah tumbuh dalam masyarakat sejak dahulu, dengan adanya cerita rakyat dan puisi rakyat. Kesemuanya itu memiliki estetika dan puitika yang mengakar dari lokalitas.

Bahasa merupakan senjata utama pengarang dalam karyanya. Karya sastra merupakan proyeksi dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa dan sastra merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi koin, saling melengkapi dan saling membutuhkan. Konsepnya adalah selama manusia masih menggunakan bahasa sebagai komunikasi verbal, selama bahasa merupakan perwujudan dari identitas bangsa dan selama sastra adalah seni berbahasa. Maka selama itu pula masalah bahasa dan sastra menjadi persoalan yang menjadi kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Jika berbicara karya yang menggunakan bahasa daerah (pencampuran), kita bisa menarik ingatan kita pada periodesasi sejarah sastra. Di zaman awal periodesasi sejarah sastra Indonesia, karya-karya banyak berbicara mengenai lokalitas, baik kritik feodalisme, praktik kawin paksa, perjodohan hingga pembrontakan gender. Kemasan lokalitas ini sudah pasti mengarah pada istilah-istilah, idiom-idom, serta ungkapan-ungkapan lokal yang notabenenya adalah bahasa daerah. Salah satu penulis yang sering menggunakan bahasa daerah yaitu Umar Kayam, istilah-istilah atau kosakata bahasa Jawa yang ditemukan dalam beberapa karyanya yaitu, gombyar-gombyor, kulu nuwon, ngelakoni, dan grusa-grusu. Dalam hal puisi kita bisa melihat contoh puisi Linus Suryadi yaitu Pengakuan Pariyem. Pada puisi tersebut hampir keseluruhan menggunakan bahasa Jawa.

Dalam perkembangan karya sastra Indonesia, lokalitas merupakan ide yang tak pernah habis. Lokalitas tidak hanya memberikan ide baru tetapi juga bentuk estetika yang baru dan unik dalam khazanah sastra Indonesia. Hal inilah yang dapat membedakannya dengan sastra negara lain. Lokalitas melekat pada teks ke wilayah interpretasi yang lebih luas, karena proyeksi lokal tersebut melekat pada kondisi masyarakat, sehingga dapat ditarik dalam wilayah apa saja.

Bahasa daerah dalam karya sastra tidak melekat sebagai cantelan semata saja. Lebih dari itu usaha untuk mencantel bahasa daerah dalam karya adalah sebagai usaha melekatkan warna lokal, budaya serta pembendaharaan kata pada diri pembaca. Usaha ini sangat menarik jika digarap dengan serius. Beberapa karya sastra mutakhir telah berhasil mengangkat lokalitas dalam karyanya salah satunya seperti, Faisal Oddang dalam beberapa karyanya Puya ke Puya, Tiba Sebelum Berangkat dan Sawerigading Datang dari Laut. Dalam karyanya tersebut menceritakan lokalitas suku Bugis sehingga mau tak mau bermunculan kosakata daerah. Contoh beberapa kosakata lokal yang ditemukan dalam karyannya: bissu, tobotto, tailaso, lego-lego, rakkeang, arajang, saba-saba, gurilla, maggiri dan puang matua.

Jika dalam bentuk prosa, kita bisa menganggap kosakata bahasa daerah hanyalah cantelan sebagai pendukung dari narasi lokalitas, maka berbeda dalam puisi. Dalam puisi kosakata daerah menjadi metafora dan metonimia. Idiom-idiom, ungkapan-ungkapan, serta bahasa arkais menjadi hal yang menarik untuk digarap oleh penyair. Makna kata bukan lagi semantis dan universal layaknya dalam kamus. Lebih dari itu, kata menjadi bebas berkat fungsi dan nilai budayanya. 

Dalam perkembangan puisi mutakhir, persoalan lokalitas sering dibahas berdasarkan daerah. Maksudnya hampir setiap daerah di Indonesia punya pembahasan sendiri mengenai lokalitas dalam sastra. Di Jambi pun demikian, seperti Ramoun Apta dan Rini Febriani Hauri. Ramoun Apta dalam karya-karyanya memanfaatkan idiom-idiom daerah sebagai ironi dalam karyanya. Hal tersebut dapat dlihat dari contoh berikut

Tak perlu kau cari

Limau purut yang hanyut di air deras itu,

Yang tersangkut di bebatu

Yang terkantung-kantung di sesela kayu tumbang

Atau yang terapung-apung

Cirit kuning kecoklatan itu

(Tak Perlu, Ramoun Apta: 2016)

Jika diinterpretasikan, limau purut ialah jeruk purut yang mengartikan kenangan antara “kau” dalam puisi dan “aku” penulis. Hal ini menggambarkan ironi yang sudah “hanyut” dan tak perlu dikenang lagi. Kenangan itu pula sudah hilang bersama “cirit”. Menariknya kosakata daerah tersebut dapat membangun ironi dan perasaan. “Cirit” adalah perwakilan dari pergolakan hati yang sudah tidak dapat menerima. Pada dasarnya “cirit” diartikan sebagai kotoran atau ampas yang sengaja dibuang yang keluar dari tubuh manusia. Penulis mencoba menuliskan momen puitiknya, lewat dari apa yang didekatnya – lokalitas dan bahasa daerah.

Begitu pula dalam puisi Rini Febriani Hauri, dalam puisi Seloko. /sudah kuduga kau akan bertandang / dari pulau nun jauh // kau bujang dan aku gadis / kita besuo di hadapan majelis//.

Pada kutipan puisi tersebut, bentuk puisi layaknya judul dalam puisi tersebut yaitu berbentuk seperti seloko. Sebenarnya masih panjang puisi ini, ada enam bagian yang diberi sub-judul khusus sebagai rangkaian cerita/narasi layaknya seloko, beghusik sighih begughau pinang, tegak batuik duduk batanyo, serah terimo adat lumbago, adat diisi lumbago dituang, cuci kaki santan bermanis, dan nasi sapat. Dari segi bentuk tampak seperti puisi bergaya bebas. Puisi ini tentang laki-laki yang ingin meminang perempuan. Bentuk seloko bisa saja mewakilkan proses isi dalam puisi tersebut.

Strategi ini sangat memungkinkan, mengingat masyarakat sudah mengenal sastra sejak lama. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, penggunaan sastra sebagai sarana pendidikan atau didaktis bukanlah hal baru. Dilihat dari bentuk cerita rakyat dan puisi rakyat, pendekatan didaktis yang implisit menunjukkan bahwa sastra menjalankan misinya sendiri. Nilai yang terkandung dalam karya sastra dapat diinterpretasi pembaca melalui proses resepsi.  Pemakaian kosakata daerah dan lokalitas menjadi persoalan yang berhasil. Karena kosakata daerah dan lokalitas akan dibicarakan lagi dalam forum diskusi. Maka tidak hanya narasi cerita yang membawa konsep yang substansi tapi penggunaan kosakata juga demikian.

Dengan konsep ini, bahasa daerah dapat pula dipakai dalam mengekpresikan budaya lewat karya sastra. Penulis yang sering mengangkat unsur budaya dengan kontras sehingga makna kosakata tidak hanya semantis dan universal, tetapi juga terdapat nilai budaya. Maka dengan hadirnya karya sastra yang menggunakan bahasa daerah dapat menjadi bahan ajar karena memberikan informasi terkait nilai-nilai kosakata tersebut.

*Esai ini ditulis oleh Dimas Sanjaya, sebagai tugas penulisan esai dan kritik perkuliahan di Sastra Indonesia, Universitas Jambi.

Editor: D. Sanjaya Putra

Tags

Terkini

Terpopuler