Dalam perkembangan puisi mutakhir, persoalan lokalitas sering dibahas berdasarkan daerah. Maksudnya hampir setiap daerah di Indonesia punya pembahasan sendiri mengenai lokalitas dalam sastra. Di Jambi pun demikian, seperti Ramoun Apta dan Rini Febriani Hauri. Ramoun Apta dalam karya-karyanya memanfaatkan idiom-idiom daerah sebagai ironi dalam karyanya. Hal tersebut dapat dlihat dari contoh berikut
Tak perlu kau cari
Limau purut yang hanyut di air deras itu,
Yang tersangkut di bebatu
Yang terkantung-kantung di sesela kayu tumbang
Atau yang terapung-apung
Cirit kuning kecoklatan itu
…
(Tak Perlu, Ramoun Apta: 2016)
Jika diinterpretasikan, limau purut ialah jeruk purut yang mengartikan kenangan antara “kau” dalam puisi dan “aku” penulis. Hal ini menggambarkan ironi yang sudah “hanyut” dan tak perlu dikenang lagi. Kenangan itu pula sudah hilang bersama “cirit”. Menariknya kosakata daerah tersebut dapat membangun ironi dan perasaan. “Cirit” adalah perwakilan dari pergolakan hati yang sudah tidak dapat menerima. Pada dasarnya “cirit” diartikan sebagai kotoran atau ampas yang sengaja dibuang yang keluar dari tubuh manusia. Penulis mencoba menuliskan momen puitiknya, lewat dari apa yang didekatnya – lokalitas dan bahasa daerah.